(Oleh: Badrul Tamam)
Sya'ban adalah bulan yang mendapat
perhatian dari Islam. Posisinya yang berada di antara bulan haram
(Rajab) dan Ramadhan menjadi salah satu sebab penentunya. Di mana pada
masa jahiliyah, orang-orang sibuk dengan kegiatan duniawi sehingga lalai
dari menjalankan ketaatan. Tidak sebagaimana pada saat bulan Rajab dan
Ramadhan.
Al-Hafidz Ibnul Hajar rahimahullah
berkata: "Dinamakan Sya'ban karena kesibukan mereka mencari air atau
sumur setelah berlalunya bulan Rajab yang mulia, dan dikatakan juga
selain itu." (al-Fath: 4/251)
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan.” (HR. Al Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Pada bulan Sya'ban, umumnya, umat Islam
sibuk dengan persiapan-persiapan menyambut Ramadhan. Tetapi, seringnya,
persiapan itu berkisar hanya masalah materi. Bagi pedagang, mereka sibuk
menyiapkan stok untuk menghadapi pasar Ramadlan, yang biasanya sangat
ramai. Bagi panitia pengajian, sibuk mengadakan acara-acara penutupan
pengajian. Biasanya diisi dengan makan-makan atau rekreasi bareng.
Padahal berdasarkan sabda Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam ada beberapa amalan yang dianjurkan, seperti memperbanyak puasa di bulan itu.
Di sisi lain, sebagian kaum muslimin
yang terlalu gemar beribadah, melakukan ritual-ritual yang beraneka
ragam untuk memuliakan bulan ini, khususnya di malam pertengahan, nishfu
Sya'ban. Tetapi, sayangnya, ritual-ritual tersebut tidak memiliki dasar
yang kuat dari dalil shahih.
Bagaimana petunjuk Islam dalam memuliakan Sya'ban?
Dalam memuliakan Sya'ban dianjurkan
melaksanakan ketaatan dan amal ibadah yang telah disyariatkan secara
umum, seperti qiyamullail, shalat sunnah rawatib, membaca al-Qur'an,
bersedekah dan lainnya. Namun ada satu amal yang mendapat perhatian Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam secara khusus. Beliau
menghidupkan Sya'ban dengan memperbanyak puasa, hampir seluruhnya.
Sehingga terjadi perbincangan serius di kalangan ulama tentang puasa
penuh di bulan Sya'ban.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'Anhuma,
beliau berkata, “Wahai Rasulullah! aku tidak pernah melihatmu berpuasa
pada satu bulan dari bulan-bulan yang ada sebagaimana puasamu pada bulan
Sya’ban.”Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
ذَلِكَ
شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ
تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ
يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana
manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan
tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb
semesta alam. Oleh karena itu, aku amat suka saat amalanku dinaikkan aku
dalam kondisi berpuasa.” (HR. Al Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ
يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ
رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak pernah
berbuka (tidak puasa). Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa
beliau tidak pernah berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berpuasa secara sempurna sebulan
penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau
berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
لَمْ
يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ
شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan
Sya’ban. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam biasa berpuasa pada bulan
Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa
Sya'ban semuanya kecuali hanya sedikit hari saja (sedikit hari yang
beliau tidak berpuasa padanya).” (HR. Muslim no. 1156)
Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan, “Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh
selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan
Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Maksud berpuasa pada Sya'ban seluruhnya
Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)? Imam Asy Syaukani rahimahullah menjawab
hal ini, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan
bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah
kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At
Tirmidzi dari Ibnul Mubarok. Beliau mengatakan: bahwa boleh dalam bahasa
Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan
dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Authar, 7/148). Jadi,
yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.
Kenapa Nabi Tidak Puasa Penuh di Bulan Sya'ban?
Al-Imam Al-Nawawi rahimahullah menuturkan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan
agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.” (Syarh Muslim,
4/161)
Di antara rahasia kenapa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah
ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib).
Sebagaimana shalat sunnah rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan
karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah
puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa
Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa
menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathaif Al Ma’arif,
Ibnu Rajab, 233)
Alasan lainnya, karena pada bulan Sya'ban tersebut amal-amal shalih di angkat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyukai saat amal shalih beliau diangkat kepada Allah sedang beliau dalam kondisi berpuasa.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
ذَلِكَ
شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ
تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ
يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di
antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan
dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh
karena itu, aku amat suka saat amalanku dinaikkan aku dalam kondisi
berpuasa.” (HR. Al Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Mari kita muliakan Sya'ban dengan semestinya dan jangan melalaikannya dari ibadah dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Khususnya, bagi saudari-saudariku, kaum muslimah, yang masih mempunyai
hutang puasa di tahun lalu, hendaknya segera dilunasi hutang tersebut.
Wallahu Ta'ala a'lam. [PurWD/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar